Badung (Lokapalanews.com) – The 2nd Stakeholders Consultation Meeting (SCM) diharapkan menghasilkan dorongan kuat seluruh negara untuk tegas menyatakan komitmennya mengelola air secara berkelanjutan pada World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan digelar pada Mei 2024 di Bali.
Demikian disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati di acara The 2nd SCM, di Intercontinental Bali Resort, Jimbaran, Bali, Kamis (12/10).
“Diharapkan akan mampu meningkatkan komitmen dan kerja sama pengelolaan air global secara berkelanjutan di tengah kondisi bumi saat ini, sehingga kita perlu bekerja sama, berpikir bersama, dan memecahkan masalah bersama,” ujar Dwikorita.
Pemanasan global telah mengakibatkan meningkatnya temperatur di udara. Keadaan ini memberikan dampak pada semakin berkurangnya air tanah karena terjadinya penguapan yang cepat. Dengan makin cepatnya penguapan, lambat laun akan memberikan pengaruh terhadap ketersediaan air bersih di bumi.
Dikatakan Dwikorita, perubahan iklim memberi tekanan pada sumber daya air yang sudah langka, sehingga menimbulkan titik-titik panas air, meningkatnya kerentanan pada kantung-kantung pangan dunia.
Bahkan, FAO menyebutkan bahwa lebih dari 500 juta petani kecil, yang menghasilkan 80% sumber pangan dunia, merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Dwikorita menjelaskan, dampak variabilitas dan perubahan iklim seringkali dirasakan melalui air. Dinamika siklus air dan interaksinya dengan manusia mengakibatkan bervariasinya pola spatio-temporal ketersediaan sumber daya air.
“Dampak ekstrem yang berhubungan dengan air mempengaruhi kehidupan, pembangunan, dan keberlanjutan ekosistem, masyarakat dan individu,” ujar Dwikorita.
World Meteorological Organization (WMO) telah menerbitkan laporan State of Global Water Resources 2021 atau Keadaan Sumber Daya Air Global yang pertama untuk menilai dampak perubahan iklim, lingkungan, dan sosial terhadap sumber daya air di bumi.
Tujuan dari inventarisasi tahunan ini adalah untuk mendukung pemantauan dan pengelolaan sumber daya air tawar, meningkatnya permintaan dan mengukur terbatasnya pasokan.
Laporan ini memberikan gambaran umum tentang aliran sungai, serta banjir besar dan kekeringan. Laporan ini memberikan wawasan mengenai titik-titik panas (hotspot) perubahan dalam penyimpanan air tawar dan menyoroti peran penting dan kerentanan kriosfer (salju dan es).
Laporan ini juga menunjukkan banyak wilayah di dunia yang mengalami kondisi lebih kering dibandingkan kondisi normal pada 2021, tahun di mana pola curah hujan dipengaruhi oleh perubahan iklim dan peristiwa La Nina.
“Laporan yang dirilis oleh WMO menyoroti beberapa tantangan penting terhadap sumber daya air global yakni ekstrem hidrologi, hilangnya air bersih (perpindahan air bersih tahunan di darat), isu kurangnya akses air bersih atau akses yang tidak setara terhadap air bersih (ketidakadilan air),” kata Dwikorita, dikutip dari InfoPublik.id.
Dwikorita yang juga menjabat Dewan Eksekutif World Meteorological Organization menyampaikan bahwa ancaman krisis air akibat perubahan iklim ini sudah terlihat sangat jelas. Antara lain, cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 bencana yang dilaporkan antara tahun 1970 dan 2021.
Negara-negara maju mengalami lebih dari 60 persen kerugian ekonomi akibat perubahan iklim, namun sebagian besar di bawah 0,1 persen Produk Domestik Bruto (PDB) mereka. Pada negara-negara terbelakang, 7 persen bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5 persen PDB, dan mencapai hingga 30 persen. Di negara kepulauan kecil, 20% bencana menyebabkan kerugian lebih dari 5 persen PDB, bahkan ada yang melebihi 100 persen. *