Saksi Sumerta dalam Sidang Sengketa Batalnya 2 SHP Pemprov Bali: Kuasa Hukum Gagal Dorong Saksi Jelaskan Tanah DN 11

Kuasa Hukum Penjabat Gubernur Bali, gagal mendorong saksi yang dihadirkan dalam persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, Senin (26/2) untuk menerangkan keberadaan tanah Dana Bukti (DN) 11, yang selama ini diklaim oleh Pemprov Bali, dalam sengketa melawan pemohon I Made Sirta dkk, mulai tahun 2001 yang lalu.

Denpasar (Lokapalanews.com) – Kuasa Hukum Penjabat Gubernur Bali, gagal mendorong saksi yang dihadirkan dalam persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, Senin (26/2) untuk menerangkan keberadaan tanah Dana Bukti (DN) 11, yang selama ini diklaim oleh Pemprov Bali, dalam sengketa melawan pemohon I Made Sirta dkk, mulai tahun 2001 yang lalu.

Saksi Bendesa Adat Pecatu, I Made Sumerta, S.H., yang dihadirkan oleh Kuasa Penjabat Gubernur, I Ketut Ngastawa, S.H., berkali-kali menjawab tidak tahu perihal tanah DN 11 yang diklaim digarap dan dikuasai oleh Pemprov Bali, terkait terbitnya SHP (sertifikat hak pakai) No. 121 dan SHP No. 126 Desa Ungasan. Desa Pecatu bersebelahan dengan Desa Ungasan, dan Sakti tidak mengetahui tentang obyek sengketa.

Ketika ditanya Putu Wirata, S.H., selaku Kuasa Hukum Tergugat II Intervensi I Nyoman Mandra dan Ketut Nulung Dkk, dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.Dps, Saksi Made Sumerta menyatakan tidak tahu obyek sengketa yang terbit SHP No. 121 dan SHP No. 126, juga tidak tahu menahu tentang klaim tanah sengketa yang oleh Pemprov Bali diklaim dengan adanya Surat Pernyataan Kepala Biro Setda Prov. Bali, I Ketut Adiarsa dan diklaim dikuasai secara fisik oleh Tjokorda Ngurah Pemayun, Sekda Provinsi Bali.

Ditanya tentang orang bernama Ketut Adiarsa, yang membuat surat pernyataan menggarap tanah dana bukti milik Pemprov Bali di Banjar Bakungsari Desa Ungasan, Sumerta menjawab tidak kenal dan tidak pernah tahu. Ditanya tentang klaim pernyataan penguasaan fisik atas tanah sengketa yang kemudian terbit SHP No. 121 dan SHP No. 126, Saksi menjawab pernah mendengar namanya, tetapi tidak kenal, dan tidak tahu kalau yang bersangkutan menguasai secara fisik tanah di Desa Ungasan.

Putu Wirata, selaku Kuasa Hukum Nyoman Mandra dkk menyoroti Kuasa Hukum Penggugat perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.Dps tersebut, yang diduga menggunakan beberapa surat palsu. Di antaranya, pernyataan Kepala Biro Aset Setda Prov. Bali Drs. I Ketut Adiarsa, M.H., yang mengaku menggarap tanah dana bukti milik Pemprov Bali di Banjar Bakungsari, Desa Ungasan (bukti P-27), Pernyataan Penguasaan Fisik atas tanah dana bukti di Banjar Bakungsari Desa Ungasan sejak tahun 1958 (bukti P-28). Selain digunakan dalam persidangan, pernyataan Drs. I Ketut Adiarsa, M.H., tersebut diduga dijadikan alasan dalam point ‘’Menimbang’’ oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Badung dalam Surat Keputusan untuk memberikan hak pakai kepada Pemprov Bali, berupa terbitnya SHP No. 121 dan SHP No. 126.

Keterangan palsunya terang benderang, ujar Putu Wirata, dan merinci, mengaku menggarap sejak tahun 1958 padahal yang menguasai adalah I Nyoman Mandra dkk. Mengklaim itu tanah dana bukti padahal sudah ada putusan pengadilan inkracht yang menyebutkan tanah sengketa adalah tanah negara. Menyebut tidak ada sengketa dan pengusaan pihak lain, padahal jelas ada sengketa di PTUN dan penguasaan fisik oleh I Nyoman Mandra dkk.

“Ada kesimpulan Pansus DPD RI untuk merekomendasikan pembentukan Pansus Aset DPRD Bali dimana Pansus tersebut merupakan rekomendasi untuk melaksanakan putusan PTUN yang telah inkracht. Juga diperkuat Surat Pernyataan Menggarap oleh I Nyoman Mandra dkk yang dikuatkan oleh Kepala Dusun Bakungsari dan Kepala Desa Ungasan. Juga ada Surat Keterangan Perbekel Ungasan yang menerangkan, bahwa yang menguasai tanah negara itu adalah I Nyoman Mandra dkk,” imbuh Putu Wirata.

Atas dasar keterangan palsu dari Adiarsa dan Cokorda Ngurah Pemayun itulah, terbit SHP No. 121 dan SHP No. 126, yang kini dibatalkan oleh Kanwil BPN Bali. Kasusnya sudah dalam penyelidikan Bareskrim Mabes Polri.

Gugatan Penjabat Gubernur Bali melawan Kanwil BPN Bali tersebut banyak mendapat kritik, baik dari kalangan akademisi di antaranya Prof. Dr. I Gede Made Suwardhana, S.H., M.H., dan Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H., maupun politisi; Ketua DPRD Gianyar Drs. I Wayan Tagel Winarta, M.AP, Anggota DPRD Bali Ketut ‘’Boping’’ Suryadi, Anggota DPRD Bangli Wayan Mertha Suteja yang Wakil Sekretaris Komisi III DPRD Bangli, Anggota DPRD Badung I Nyoman Dirga Yusa, SE.

Gugatan Penjabat Gubernur dituding melanggar pasal 53 ayat 1 UU PTUN dan penjelasannya, karena Pemprov Bali bukanlah badan hukum perdata, karena yang berhak menggugat adalah perseorangan atau badan hukum perdata. Para akademisi dan politisi tersebut menyayangkan sikap Penjabat Gubernur yang berperkara melawan mitranya, dan juga menindas hak Tergugat II Intervensi, yang sudah 23 tahun memperolah putusan, tetapi tak kunjung menikmati haknya.

Kasus bergulir dari tahun 2001, ketika Made Sirta dkk menggugat Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, yang menolak permohonan sertifikat hak milik atas tanah negara di Desa Ungasan. PTUN Denpasar, maupun banding dan kasasi di Mahkamah Agung. Walaupun sudah ada putusan pengadilan yang inkracht, Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, bukannya memberikan sertifikat untuk I Made Sirta dkk/sekarang I Nyoman Mandra dkk, tetapi yang diberikan sertifikat justru untuk Pemprov Bali yang dalam perkara tersebut berstatus penggugat intervensi yang kalah.

Kuasa Hukum I Nyoman Mandra dkk, menerima substansi keterangan Saksi I Made Sumerta, yang tidak mengetahui tentang obyek sengketa maupun tanah dana bukti, walaupun menyatakan keberatan atas status Saksi yang ternyata punya hubungan kerja dengan Penggugat. Dimana, setiap tahun Pemprov Bali mengucurkan bantuan sekitar Rp 300 juta untuk desa adat, termasuk Desa Adat Pecatu.
Sidang ditunda sampai tanggal 7 Maret 2024 untuk memberi kesempatan mengajukan tambahan bukti dan mendengar keterangan saksi. *rl