Pada 8 Juli 2024, Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat mengabulkan permohonan praperadilan (Nomor 10/Pid.Pra/2024.PN Bandung) terhadap penetapan tersangka atas nama Pegi Setiawan (PS) oleh Polda Jabar terkait kasus pembunuhan terhadap Vina dan Eky di Cirebon yang terjadi pada 2016.
Dalam sidang tersebut, hakim Eman Sulaeman sebagai hakim tunggal menilai tidak ditemukan bukti bahwa Pegi pernah dilakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka oleh Polda Jabar sehingga penetapan tersangkanya tidak sah atau batal secara hukum.
Persoalan ini sebenarnya telah menjadi perbincangan di masyarakat, mengingat simpang siur informasi yang didapat, terutama dari penasehat hukum Pegi yang mengatakan bahwa Pegi kliennya bukan pelaku yang dimaksud dan bahkan diketahui dari jejak fisik dan digitalnya bahwa Pegi pada saat tindak pidana terjadi, berada di Bandung bukan di Cirebon.
Putusan praperadilan ini tentu selanjutnya berimplikasi pada beberapa hal yang terkait dengan pengungkapan kasus Vina dan Eky ini, serta mengindikasikan pada beberapa pandangan analitis terkait dengan sistem penegakan hukum.
Terkait dengan kredibilitas penegakan hukum yang dilakukan oleh Polda Jabar. Dalam hal ini, penetapan tersangka yang dievaluasi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dipertanyakan.
Kita tentu dapat melihat bahwa putusan ini merupakan hal yang wajar, namun juga dapat mempertanyakan akuntabilitas proses penegakan hukum yang dilakukan oleh Penyidik Polda Jabar.
Masyarakat kini tengah mempertanyakan lebih lanjut mengenai beberapa alat bukti yang digunakan oleh Polda Jabar dalam menetapkan status tersangka pada Pegi Setiawan yang selalu mengaku tidak kenal dan bukan pembunuhnya. Selain saksi, Polda menggunakan keterangan dan bukti bahwa Pegi mengganti identitas dan kabur dengan mengontrak sebuah rumah di Bandung. Dalam hal ini, masyarakat kemudian mempertanyakan kebenaran dari alat bukti yang digunakan oleh Polda Jabar dalam mengidentifikasi pelaku.
Dalam keterangan dan sumber informasi yang didapat, salah satu alat bukti yang dipergunakan oleh penyidik Polda Jabar merupakan hasil dari kesaksian salah seorang pelaku yang menjadi saksi kunci (Aep). Jikalau penetapan ini salah, hal ini tentu berdampak secara hukum terhadap kesaksiannya. Publik kemudian bertanya juga apakah kesaksian Aep tersebut dapat dipertanyakan akuntabilitasnya, apakah memang sebuah kecerobohan atau juga terdapat unsur rekayasa atau paksaan dengan pengaruh dari pihak lain.
Kasus ini cukup unik, mengingat Pegi Setiawan merupakan terduga pelaku utama atau aktor utama (mastermind) dalam kasus pembunuhan ini. Namun dengan adanya putusan tersebut, maka publik dapat mempertanyakan bagaimana proses penegakan hukum dan kesaksian dari kedelapan tersangka tersebut dapat dinyatakan valid atau sah, sedangkan kesaksian terhadap pelaku utama saja salah.
Perlu dalam hal ini, para penyidik Polda Jabar untuk mengkaji dan mendalami hasil putusan praperadilan tersebut lebih jauh tentang isi dan implikasi hukum. Selain dari pemenuhan hak para tersangka yang menjadi pemohon praperadilan, apa saja langkah hukum yang harus atau perlu dilakukan dalam rangka membuktikan para pelaku kejahatan khususnya pelaku utamanya. Artinya, evaluasi terhadap tahapan dan proses yang dilakukan berdasarkan KUHAP atau SOP, akuntabilitas dan profesionalitasnya, serta apa yang kemudian menjadi tindak lanjut dari putusan tersebut.
Persoalan salah tangkap ini bukan merupakan hal baru di dunia hukum, baik di Indonesia maupun di dunia. Kasus serupa banyak terjadi di berbagai peradilan. Sebagai contoh, terdapat kasus di mana seorang pria bernama Sidney Holmes yang akhirnya dibebaskan setelah menjalani hukuman selama 34 tahun di penjara Fort Lauderdale, Florida. Holmes akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan pada tahun 2023 dalam kasus perampokan bersenjata yang terjadi pada tahun 1988.
Polisi diduga salah dalam menangkap pelaku karena kemiripan pelaku dan mobil yang dikendarainya. Holmes juga akhirnya mendapat kompensasi yang dihitung per tahun selama menjalani hukuman. Demikian pula kasus yang menimpa seorang pria bernama Craig Coley di Florida yang dibebaskan pada 2017 setelah menjalani hukuman penjara hampir 40 tahun karena tuduhan pembunuhan terhadap pacar dan putranya. Kasus ini ditinjau ulang dan mendapati bahwa kesaksian seorang saksi tidak benar dan DNA yang ditemukan bukan milik Coley. Atas kesalahan ini, kota Simi Valley kemudian memberikan kompensasi yang cukup besar atau 21 miliar USD.
Jika benar bahwa terdapat kesalahan dalam kasus Pegi Setiawan tersebut, memperlihatkan bahwa mekanisme praperadilan merupakan hal yang penting atau jalan bagi warga negara untuk dapat memperoleh keadilan terhadap kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam proses penegakan hukum. Demikian pula menjadi panggilan (alert) bagi institusi atau aparat penegak hukum untuk dapat lebih berhati-hati dan lebih komprehensif dalam menentukan langkah hukum.
Kita seringkali dihadapkan pada permasalahan-permasalahan dalam proses penegakan hukum atau upaya paksa seperti: salah identifikasi, kriminalisasi, penahanan yang tidak prosedural atau overstay, penanganan yang berlarut, penyitaan terhadap barang yang dilakukan tidak sesuai aturan, atau penyadapan in-prosedural, dan lain-lainnya. Hal ini mengindikasikan pula bahwa pengawasan terhadap sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia perlu dilakukan secara ketat.
Pembangunan atau penciptaan transparansi, profesionalitas, integritas, dan kepatuhan terhadap undang-undang oleh sistem penegakan hukum maupun peradilan harus terus dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh. Hal ini mungkin juga dapat menjadi alarm bagi pemerintah dan DPR untuk dapat mereformasi kebijakan sistem peradilan pidana terpadu dan ketentuan terkait lainnya untuk mengawasi sekaligus mengoptimalisasi dan mendorong peran peradilan dan penegak hukum secara profesional dan akuntabel. *