Jaga Proses Penegakan Hukum, KPK Perkuat Perlindungan Saksi Pelapor

Kepala Biro Hukum KPK, Ahmad Burhanudin pada agenda Focus Group Discussion (FGD) dengan tajuk ‘Perlindungan Saksi atau Pelapor dalam Whistleblowing System dan Penafsiran Pasal 36,37, 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi’ yang terselenggara di Gedung ACLC KPK, Jakarta (Foto: Dok KPK).

Jakarta (Lokapalanews.com) – Berbagai langkah strategis terus dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Pun untuk mencapai tujuan tersebut turut memerlukan upaya yang lebih masif, salah satunya dengan memperhatikan dan melindungi para saksi dan pelapor tindak pidana korupsi yang mengindikasikan pentingnya keterangan saksi pelapor.

Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Biro Hukum KPK, Ahmad Burhanudin pada agenda Focus Group Discussion (FGD) dengan tajuk ‘Perlindungan Saksi atau Pelapor dalam Whistleblowing System dan Penafsiran Pasal 36,37, 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi’ yang terselenggara di Gedung ACLC KPK, Jakarta, pada Minggu (28/7).

Burhan pun menjelaskan pentingnya kedudukan saksi dalam proses penegakan hukum dan peradilan sebagai perangkat hukum khusus. Hal ini yang menyebabkan dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Tidak dipungkiri keterangan pelapor yang dalam hal ini berstatus sebagai saksi menjadi faktor penting untuk membuktikan kebenaran dalam suatu kasus tindak pidana korupsi. Dengan adanya UU perlindungan saksi dan korban, terbukti jika negara senantiasa berupaya memberikan jaminan berupa perlindungan hukum kepada saksi dan pelapor dalam upaya mengungkapkan fakta dalam suatu dugaan atau perkara suatu tindak pidana khusus, seperti korupsi,” kata Burhan, dilansir InfoPublik.

Lanjut Burhan, maraknya ‘serangan balik’ dengan berbagai cara seperti intimidasi hingga tuntutan balik dari telapor terhadap saksi pelapor menyebabkan terhambatnya proses penegakan hukum.

“Oleh karenanya, perlindungan hukum terhadap saksi pelapor tindak pidana korupsi difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang tidak sekadar adaptif dan fleksibel, melainkan prediktif dan antisipatif,” katanya.

Khusus untuk tindak pidana korupsi, perlindungan hukum terhadap saksi pelapor diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut bahwa KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.

Untuk selanjutnya, KPK menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) mengenai penyusunan naskah akademis dan rancangan perubahan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pelayanan Publik. Bahwa ketentuan perlindungan lebih lanjut antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

“Hingga saat ini, KPK terus berupaya menjalin kerjasama dengan kurang lebih 48 Kementerian/Lembaga dan 14 Pemerintah Daerah untuk mengintegrasikan Whistleblowing System (WBS) terintegrasi yang dapat memudahkan dalam membuat laporan. Melalui upaya ini, pengorbanan para saksi pelapor harus diapresiasi melalui kebijakan dalam formulasi perlindungan hukum yang kuat,” ungkap Burhan.

KPK pun berharap dengan adanya peraturan yang berlaku dan penguatan mengenai perlindungan hukum terhadap saksi pelapor (whistleblower) dapat memberikan rasa aman kepada saksi perkara tindak pidana korupsi. Pun demikian penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi oleh KPK dapat ditangani dengan cepat, tepat dan optimal. *705