Wayan Sudirta Soroti Kasus Penembakan Anggota Paskibraka di Semarang

Anggota Komisi III DPR RI, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H.

Jakarta (Lokapalanews.com) – Anggota Komisi III DPR RI, Dr. I Wayan Sudirta, S.H., M.H., menyoroti sejumlah persoalan di institusi Polri beberapa waktu belakangan ini. Ia mengaku prihatin dan menyayangkan kasus tersebut bisa terjadi, dimulai dari kasus meninggalnya tahanan (Sumbar dan Sulteng), kasus meninggalnya pelajar karena Patroli (Bekasi), kasus penembakan polisi (di Solok Selatan), dan terakhir penembakan terhadap Paskibraka di Jateng. Badai persoalan seolah sedang menimpa Polri secara bertubi-tubi. Yang kemudian menjadi pertanyaan apa yang sebenarnya sedang terjadi dan mengapa hal ini bisa menimpa Polri?

“Kita tentu ingat akan peristiwa penembakan oleh Ferdi Sambi terhadap Bharada Eliezer (Alm) yang sangat disayangkan,” katanya.

Ia mengatakan, saat itu Komisi 3 DPR bagaikan terusik setelah beberapa saat dibuai dengan kinerja apik Polri selama masa Pandemi Covid-19. Masyarakat sontak kaget ketika peristiwa ini diberitakan dan mulai menerka atau mereka-reka pokok permasalahan kejadian tersebut. “Komisi 3 saat itu mengingatkan Kapolri bahwa persoalan tersebut merupakan musibah besar namun menjadi momentum bagi Kapolri dan jajarannya untuk melaksanakan reformasi kultur dan struktur, tentunya dengan menjalankan revolusi mental,” katanya.

Menurut Wayan Sudirta, Polri kerap diindentikkan dengan pelanggaran HAM, penyalahgunaan kewenangan, kriminalisasi, backing atau keterlibatan dalam pelanggaran hukum, penegakan hukum yang tidak transparan dan akuntabel, dan rentan intervensi. Belum lagi dikaitkan pula budaya hidup mewah, kekerasan, arogansi, dan kegiatan berpolitik. Namun tidak kunjung selesai, persoalan demikian malah makin terjadi, Polri pada saat ini benar-benar dalam kondisi “darurat reformasi”.

“Bagi saya dan tentunya Komisi 3 DPR, upaya reformasi atau transformasi Polri tentu bukan tidak sama sekali berjalan. Banyak inovasi layanan publik yang telah dilahirkan dan peran Polri di masyarakat yang patut diapresiasi. Tanpa menegasikan beberapa keberhasilan Polri, di sisi lain semua pihak termasuk Kapolri harus mengakui bahwa tidak semua program perubahan tersebut berjalan mulus. Beberapa persoalan masih terjadi yang sebenarnya membutuhkan perubahan yang signifikan dan reformatif,” katanya.

Perubahan itu, kata Wayan Sudirta, dimulai dari sistem kepemimpinan, strategi reformasi budaya dan struktur Polri, pengawasan, pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai aturan (due dilligence), pelatihan/pendidikan, hingga sistem rekrutmen yang perlu untuk diperbaiki dan ditingkatkan segera. Hal ini menjadi “urgen” untuk segera diperbaiki. Rekrutmen yang bersih dari pungli, pelatihan HAM dan pendidikan mental dan kualitas yang terintegrasi dan berintegritas, pengawasan melekat dan ketat, sistem reward and punishment yang jelas dan terukur, serta sistem kepemimpinan yang menjunjung tinggi pelayanan dan profesionalitas menjadi beberapa kunci untuk mengubah citra Polri yang buruk.

Ia menambahkan, kepercayaan dan kepuasan masyarakat tentu harus dipulihkan supaya tidak ada lagi keraguan, terutama agar masyarakat tetap menghargai institusi hukum yang merupakan penegak hukum dan pengayom masyarakat. Kedaruratan ini harus segera disikapi dengan kebijakan dan implementasi konkrit. Penegakan hukum yang transparan dan terbuka terhadap kasus-kasus yang melibatkan anggota Polri harus dikedepankan untuk menimbulkan efek jera. “Saya tentu teringat dengan usulan saudara Arsul Sani (yang kini menjadi Hakim Konstitusi) dan Alm. Desmond J Mahesa pada saat pembahasan RUU KUHP menginginkan pemberatan yang besar terhadap oknum aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana. Hal ini karena ketidakseimbangan antara sipil dan aparat yang tentu terlatih dan mungkin bersenjata. Demikian pula perlunya pemidanaan terhadap persekusi dan kekerasan oleh aparat, dalam hal ini KUHP juga berperan untuk melindungi masyarakat sebagaimana tujuan hukum pidana,” katanya.

Oleh sebab itu, kasus penembakan Paskibra yang merupakan masyarakat sipil, maupun kasus penembakan di Solsel harus dibuka seluas-luasnya dan ditindak tegas sesuai aturan. Baik dari sisi penegakan hukum maupun pelanggaran etiknya. Arogansi seperti ini tidak boleh didiamkan begitu saja. Tidak hanya pelaku saja namun juga para pimpinan dan atasan pengawas atau pengendali yang melekat sesuai Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri dan juga Peraturan Polisi Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api, Standar Polri, Senpi Non-Organik Polri/TNI, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api. Hal ini harus disikapi dengan nyata dan konsisten untuk menunjukkan sikap tegas dan terbuka dari Polri. Seluruh pihak akan menunggu ketegasan dan penyelesaian yang menyeluruh terhadap jajaran Polri terkait.

Menurut Wayan Sudirta, Komisi 3 DPR tentu akan terus mengawal dan mengawasi penanganan kasus ini agar masyarakat dapat terus mengetahui apa yang menjadi persoalan dan langkah-langkah untuk penindakannya. Komisi 3 DPR akan terus mengawasi respon Polri dalam “Kedaruratan Polri” ini. Jikalau diperlukan, maka seluruh pihak dapat memberi masukan kepada Komisi 3 DPR untuk mengevaluasi kinerja Polri dan perubahan undang-undang Polri untuk mengevaluasi kewenangan, tugas dan fungsi, serta peran Polri agar dapat terawasi dan terkendali dengan baik. *yas