Jakarta (Lokapalanews.com) – Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan arti penting sinergi antara pemerintah dan perguruan tinggi untuk membumikan pemanfaatan kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI).
Meutya Hafid menyatakan bahwa pendekatan bertahap akan menjadi strategi pemerintah dalam menghadapi perkembangan teknologi AI. Menurutya, masyarakat harus memahami dan merasa nyaman terlebih dahulu dengan teknologi baru sebelum sepenuhnya mengadopsi.
“Biasanya, sesuatu untuk kemajuan perlu kita perbincangkan terlebih dahulu dengan para pihak. Setelah ada kesepahaman, barulah kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya,” tandasnya dalam Diskusi Komdigi Menjangkau: Campus, We’re Coming! di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu (11/12).
Pemerintah memandang teknologi AI bukan sebagai ancaman, melainkan sebuah peluang besar sekaligus tantangan. Data menunjukkan bahwa AI akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan pada 2025, tetapi di saat yang sama akan menciptakan 90 juta pekerjaan baru di bidang seperti pengembangan AI, data sains, dan kolaborasi manusia dengan AI.
“Artinya, ada yang hilang, tetapi lebih banyak yang datang. Ini adalah peluang yang harus kita manfaatkan, terutama oleh generasi muda,” tambah Meutya.
Etika dan Tanggung Jawab
Pada kesempatan tersebut, Meutya menekankan arti penting etika dan tanggung jawab dalam pengembangan AI. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negara pertama di ASEAN yang mendorong penerapan Panduan Etika AI UNESCO.
“Etika dan kreativitas harus berjalan seiring. Teknologi memiliki batasan, dan etika adalah pengendali utama agar manfaatnya tetap optimal,” tuturnya.
Pemerintah telah mengeluarkan panduan etika pemanfaatan AI dalam bentuk surat edaran. Mulai 2025, serial diskusi dengan para pemangku kepentingan akan digelar untuk meningkatkan regulasi agar lebih kuat dan inklusif.
“Kami tidak akan menghambat inovasi teknologi, tetapi mendorong penggunaannya untuk berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi,” tegas Meutya.
Menurut Menkomdigi Indonesia membutuhkan sembilan juta talenta digital hingga 2030 untuk menguasai teknologi digital, termasuk AI.
Tantangan ini menurutnya, menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Namun, Meutya Hafid optimistis dapat terwujud dengan dukungan akademisi, termasuk UGM. Pada 2024, Kementerian Komdigi telah mencetak satu juta talenta digital baru dan menjangkau 5,6 juta peserta literasi digital.
Dalam acara yang sama, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria menyatakan penguasaan teknologi memerlukan peningkatan kapasitas manusia.
“AI hanya bisa bekerja dengan data. Tetap manusia yang mengendalikan, sehingga kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi kunci utama,” jelasnya seraya menambahkan bahwa perkembangan pesat AI yang kini mendekati kecerdasan artifisial umum.
Pusat Inovasi dan Pengembangan AI
Wakil Rektor UGM Bidang Perencanaan, Aset, dan Sistem Informasi, Arief Setiawan Budi Nugroho, menyatakan kebanggaan karena UGM menjadi tuan rumah acara ini.
“Ini adalah kehormatan bagi UGM. Kehadiran Menteri memungkinkan kami mendengar langsung strategi pemerintah menghadapi tantangan teknologi di masa depan,” ungkapnya.
Arief menjelaskan UGM memiliki komitmen kuat untuk menjadi aktor penting dalam memanfaatkan AI bagi kepentingan bangsa. Kampus ini terus mendorong penelitian dan pengembangannya, termasuk integrasinya dalam sektor kesehatan, pendidikan dan sektor lainnya.
Salah satu inovasi UGM misalnya pemantauan kerusakan jalan tol menggunakan AI, yang mempercepat proses tanpa mengurangi keakuratan. Selain itu, teknologi tersebut juga dimanfaatkan untuk mendeteksi penyakit seperti tumor, malaria, dan penyakit mata, yang meningkatkan akses layanan kesehatan di wilayah terpencil.
UGM juga telah membuka program magister kecerdasan buatan dengan konsentrasi “Applied AI in Business”, yang melatih mahasiswa untuk memanfaatkan AI dalam dunia bisnis. Kerja sama dengan Microsoft telah dilakukan untuk mendukung literasi digital sivitas akademika. *103