Jakarta – Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) berencana menulis ulang sejarah Indonesia menuai sorotan tajam. Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana mengingatkan Kemenbud untuk berhati-hati dalam menyusun dan memaknai “sejarah resmi”, karena terminologi tersebut dinilai tidak tepat dan berpotensi menimbulkan interpretasi “ilegal” terhadap versi sejarah lainnya.
Bonnie Triyana menegaskan bahwa istilah “sejarah resmi” tidak dikenal dalam kaidah ilmu sejarah dan bermasalah secara prinsipil maupun metodologis. Penggunaan terminologi ini dikhawatirkan akan menimbulkan syak wasangka atas tafsir tunggal, serta berpotensi membungkam versi-versi lain dari peristiwa sejarah itu sendiri.
Rencana penulisan ulang sejarah ini mencakup periode dari awal lahirnya masyarakat Nusantara hingga pasca-Reformasi. Tiga sejarawan, yakni Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin, telah ditunjuk oleh Kemenbud untuk menyusun Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia. Buku sejarah ini ditargetkan rampung pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan HUT kemerdekaan ke-80 RI.
Alasan utama revisi ini, menurut Kemenbud, adalah untuk menyelaraskan kembali pengetahuan sejarah dengan berbagai temuan baru dari disertasi, tesis, atau penelitian para sejarawan. Hasil penulisan ulang ini rencananya akan dibukukan secara resmi melalui pendanaan dari Kemenbud, bekerja sama dengan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Polemik muncul setelah sejumlah tokoh masyarakat mendatangi DPR pada Senin (19/5) lalu. Mereka beraudiensi dengan Komisi X DPR, mengungkapkan kekhawatiran akan adanya pembelokan sejarah dari rencana penulisan ulang yang dilakukan pemerintah.
Bonnie Triyana, lulusan Master Sejarah dari Universitas Indonesia, menekankan pentingnya akuntabilitas dan transparansi. Ia meminta proyek penulisan sejarah bangsa ini terbuka kepada publik, melibatkan tidak hanya sejarawan profesional, tetapi juga masyarakat luas.
“Karena sejatinya, sejarah adalah milik orang banyak dan menyangkut cara pandang bangsa terhadap masa lalunya. Ini guna memetik pelajaran sejarah sepahit apapun itu,” ujar Bonnie.
Anggota Komisi Pendidikan dan Kebudayaan DPR itu juga mengingatkan bahwa proyek penulisan sejarah yang tidak transparan akan menimbulkan kecurigaan atas penggunaan tafsir tunggal, apalagi jika disponsori negara.
Bonnie Triyana menegaskan bahwa penulisan sejarah seharusnya dilakukan secara inklusif dan demokratis. Ia menyarankan agar diawali dengan pertemuan ilmiah yang terbuka bagi siapa pun, bukan terkesan keinginan sepihak.
Rencananya, Komisi X DPR RI akan memanggil Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait penulisan ulang sejarah ini. Komisi yang membidangi pendidikan dan kebudayaan ini belum menerima penjelasan langsung dari Fadli Zon.
Ketua DPR RI Puan Maharani juga menyoroti wacana penulisan ulang sejarah ini. Senada dengan Bonnie, Puan menekankan pentingnya transparansi dari pemerintah dalam proses penulisan ulang sejarah Indonesia kepada publik.
Puan mengingatkan agar penulisan ulang sejarah tidak mengaburkan fakta sejarah yang pernah terjadi sejak Indonesia merdeka. “Yang penting jangan ada pengaburan atau penulisan ulang terkait sejarah yang tidak meluruskan sejarah,” ujarnya pada Selasa (20/5).
Puan juga meminta semangat Jas Merah (Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah) yang digaungkan Proklamator sekaligus Presiden pertama RI, Sukarno, tetap dipegang teguh sebagai pedoman. Ia menekankan pentingnya memaknai sejarah apa adanya, meskipun tidak semua catatan sejarah bangsa indah, agar nilai-nilai yang terkandung tetap hidup di masyarakat. *R104