MK sedang Menyidangkan Perkara Batas Minimum Gaji Dosen PTS

Muhammad Asrun selaku Ahli Pemohon usai memberikan keterangan pada sidang uji Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Rabu (13/3) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Jakarta (Lokapalanews.com) – Mahkamah Konsitusi tengah membahas Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2023 dalam sidang lanjutan untuk menguji secara materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) terkait kewajiban badan penyelenggara memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan, terkhusus untuk dosen di perguruan tinggi swasta (PTS).

Dilansir dari keterangan tertulis Humas MK, Kamis (14/3), Guru Besar Hukum Konstitusi Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Muhammad Asrun, sebagai ahli dari pemohon menyampaikan dalam persidangan bahwa untuk menjadi dosen yang syaratnya harus S2 dan S3 dengan biaya tinggi, maka ia mendesak pemerintah untuk segera menetapkan gaji dosen di PTS dengan batas minimalnya di atas Upah Minimum Regional (UMR).

“Semestinya negara hadir dengan menetapkan gaji dosen minimum yang harusnya di atas UMR, mengingat untuk menjadi dosen syaratnya adalah minimum berpendidikan S2 dan wajib melanjutkan S3 dengan biaya yang tidak murah,” ujar Arsun.

Arsun mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi (Kemenbudristek) harus berupaya untuk mensejahterakan dosen di PTS yang berbeda pendapatannya dengan di perguruan tinggi negeri (PTN). Misalnya di PTN gaji dosen mendapatkan alokasi dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) sementara dosen PTS tidak, maka itu bisa dilakukan dengan solusi alternatif misalnya bantuan dana sertifikasi dosen maupun dana untuk penelitian.

“Saya memahami kewajiban pemerintah dalam mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) atau APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) dengan memasukkan gaji dosen PTN, tetapi tidak mencantumkan gaji dosen PTS. Namun, seharusnya pemerintah melalui Kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) tetap memberikan insentif bagi seluruh dosen perguruan tinggi termasuk dosen PTS dengan nomenklatur uang sertifikasi dosen atau uang riset secara berkala dan tepat waktu,” kata Asrun.

Ia juga menegaskan bahwa dana penelitian yang diterima dosen PTS telah dipergunakan sebagaimana mestinya, tidak menyalahi aturan, maka laporan pertanggungjawaban yang dibuat detail dan rumit bisa dipermudah serta diberikan tunjangan serta insentif yang lain.

“Jika dosen menerima dana penelitian, laporan pertanggung jawabannya dirasa begitu detail dan rumit, sehingga menjadi kendala tersendiri bagi profesi dosen. Padahal tidak semua pengeluaran riset itu dapat dibuktikan dengan bukti pengeluaran tertulis, seperti ‘ngopi-ngopi di warung tegal’,” tegas Asrun

Pemohon dalam perkara ini terdiri dari dua dosen PTS yakni Teguh Satya Bhakti dan Fahmi Bachmid yang menyatakan, pembebanan kewajiban pemberian gaji pokok dosen PTS hanya kepada badan penyelenggara maka akan berakibat kesenjangan bagi dosen PTS dibandingkan dosen PTN, bahkan sesama antar PTS pun juga saling ketimpangan karena lembaga yang memberikan upah memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

Pemohon meminta agar pemberian gaji pokok serta tunjangan dosen PTS dibebankan pada APBN atau APBD. *