Di tengah persaingan global terutama di bidang ekonomi dan keuangan kini semua mata atau perhatian tertuju pada strategi kebijakan ekonomi negara-negara dalam menghadapi krisis ekonomi global. Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya besar berada dalam posisi strategis namun juga rentan terhadap dampak persaingan global. Banyak negara kini berupaya untuk menerapkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk menghadapi persaingan ekonomi global yang sedang tidak menentu dan volatilitas di pasar keuangan global, terutama pasca pandemi.
Indonesia di tengah krisis tersebut berupaya untuk menghadapi fenomena krisis ekonomi global tersebut dengan sejumlah strategi, misalnya dengan menurunkan suku bunga perbankan, kelonggaran pajak, hingga restrukturisasi di berbagai sektor termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terakhir adalah lahirnya UU BUMN yang salah satunya berupaya untuk menata ulang aset dan keuangan BUMN yang selama ini dianggap kurang efektif dan berdampak signifikan terhadap pendapatan negara. Salah satu fitur utama yang menjadi perbincangan besar di kalangan masyarakat saat ini adalah pembentukan “Danantara”. Perusahaan super-holding (semacam induk perusahaan) ini dibentuk mengikuti kebijakan seperti Temasek di Singapura atau 1MDB di Malaysia, yang menjadi strategi negara dalam menata korporasi milik negara yang penyaluran pendapatannya dilakukan secara kolektif sesuai dengan prinsip efektif dan efisien.
Di satu sisi boleh jadi pembentukan UU BUMN tersebut merupakan sebuah strategi berhasil dalam upaya mengoptimalkan manajemen keuangan negara, namun secara ekuivalen juga menciptakan risiko dalam pengawasannya. Kekhawatiran masyarakat tentu juga hadir bersama dengan optimisme pasar. Salah satu kekhawatiran besar tersebut adalah terkait dengan pengawasan dan penegakan hukumnya. Pengaturan UU tersebut dinilai justru memberi jalan bagi pelaku korupsi untuk semakin menghindari permasalahan hukum.
Diskusi mengenai penegakan hukum mengemuka ketika UU BUMN yang baru mengatur mengenai subyek BUMN yang bukan dikategorikan penyelenggara negara. Pasal 3X ayat (1) dan Pasal 9G UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN mengatur bahwa organ dan pegawai badan maupun direksi, dewan pengawas, dewan komisaris bukan penyelenggara negara. Pengaturan ini menimbulkan polemik karena dinilai seolah melindungi seluruh BUMN dari penindakan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK sebagaimana kewenangan KPK yang diatur dalam UU KPK maupun UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Padahal, data menunjukkan bahwa KPK telah melakukan penegakan hukum terkait kasus di BUMN. Misalnya sebagaimana disampaikan oleh ICW, dari 2016-2021 saja terdapat 119 kasus dan 340 tersangka. Demikian pula kita sering mendengar bahwa KPK maupun Kejaksaan Agung melakukan penindakan terhadap kasus yang terjadi di BUMN, seperti pada kasus Pertamina. Namun begitu, Menteri BUMN menyampaikan bahwa KPK tetap bisa melakukan penyidikan kasus korupsi terhadap personil BUMN. Namun sebenarnya bagaimana dampak dari UU BUMN ini dari sisi legalitas (regulatory framework) terhadap penyidikan kasus korupsi, terutama yang menjadi kewenangan KPK. Benarkah terdapat upaya atau pengaturan untuk melindungi para personil BUMN atau menghindarkan mereka dari kasus korupsi.
Rezim Korupsi Pasca UU BUMN
Untuk dapat memahami ranah penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi, maka faktor atau unsur yang perlu untuk dikaji adalah subyek hukum, perbuatan melawan hukum (mens rea), akibat hukum (kerugian negara), dan kewenangan (kompetensi). Dalam polemik pengaturan pada UU BUMN, hal yang menarik untuk disimak perjalanan pengaturan tentang Penyelenggara Negara dan Kekayaan Negara yang menjadi objek hukum pidana korupsi yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan secara khusus (lex specialis).
Mengenai subyek hukumnya, beberapa pakar hukum menyampaikan bahwa BUMN merupakan bentuk dari penyertaan modal negara sehingga harus dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Demikian pula terkait dengan obyek kerugian negara, kerugian pada harta kekayaan dalam BUMN seharusnya bagian dari obyek yang termasuk dalam kekayaan negara secara regulatif. Penyelenggara Negara telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selanjutnya kewenangan KPK diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK yang menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain serta/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Demikian pula perdebatan tentang upaya untuk memisahkan BUMN dari obyek tindak pidana korupsi juga terjadi terkait dengan definisi kekayaan negara. Terdapat uji materi terkait dengan apakah pengelolaan keuangan BUMN masuk dalam kategori kekayaan negara atau keuangan negara sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 termasuk berkaitan dengan Putusan MK Nomor 59/PUU-XVI/2018 (Dana Pensiun) serta Nomor 26/PUU-XIX/2021 (anak perusahaan BUMN). Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 menyatakan rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif. Sedangkan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 menyatakan hakikat BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya yang seluruh atau sebagian besar sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan negara.
Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara. MK memutuskan perdebatan mengenai apakah kerugian BUMN adalah juga kerugian negara. Namun demikian, Mahkamah menyatakan bahwa paradigma pengawasan keuangan negara pada BUMN harus berdasarkan pada paradigma Business Judgement Rules (BJR), tidak sekadar berdasarkan pada paradigma pengawasan keuangan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan atau Government Judgement Rules (GJR).
Mahkamah Konstitusi menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan hakekat pengawasan yang berbeda. BJR yang telah diamanatkan dalam putusan MK akan berperan sebagai standar dalam penilaian. Prinsip-prinsip BJR dijadikan sebagai unsur untuk menilai tanggung jawab direksi, baik dalam penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan. Sedangkan GJR pada BUMN diterapkan dengan prinsip-prinsip, antara lain transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, kewajaran (sebagaimana dikutip dalam laman MK).
Inilah yang kemudian ditafsirkan oleh UU BUMN untuk memisahkan BUMN dan kekayaan negara sebagaimana dalam UU Kekayaan Negara. Dengan alasan pemahaman atau dasar-dasar tersebut, akhirnya KPK mengeluarkan Surat Edaran Nomor 12 Tahun 2025 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenanvan Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketuga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2023 tentang Badan Usaha Milik Negara. Melalui surat edaran tersebut berarti KPK memiliki kajian dan menganggap bahwa meskipun terdapat UU BUMN, UU KPK tetap berlaku sepanjang terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau korupsi. Ini berarti KPK memahami bahwa kerugian atau keuangan BPI Danantara atau BUMN tetap dapat masuk dalam ranah unsur “kerugian negara” dan organ, pengurus, pejabat atau pegawai BUMN tetap dapat dianggap sebagai penyelenggara negara sebagaimana UU tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Perlu saya kemukakan juga di sini, terkait dengan pengaturan tindak pidana dalam KUHP (UU Nomor 1 Tahun 2023). KUHP telah mengatur tentang subyek tindak pidana baik perorangan dan korporasi, khususnya personil pengendali korporasi. Rezim pertanggungjawaban pidana dalam KUHP melihat adanya motif dan tujuan tindak pidana sebagai hal yang dapat membuat seseorang atau korporasi dikenai tindak pidana atau dimintai pertanggungjawaban. Dalam hal BUMN, personil pengendali korporasi ini tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan konstelasi merugikan negara dalam UU Tipikor, sehingga dalam hal tertentu dapat dikategorikan sebagai kasus tindak pidana korupsi. Pemisahan yang terjadi di UU BUMN dalam hal penyelenggara negara tidak serta merta juga menghadirkan imunitas kepada personil BUMN dari kasus korupsi atau kewenangan KPK.
Oleh sebab itu memang lebih baik jika, terdapat penjelasan lebih lanjut atau bilamana dipandang perlu perbaikan kembali terhadap UU BUMN, baik melalui perubahan UU maupun meminta pendapat dari MK. Seluruh pihak dapat terus mengkaji persoalan ini, tentu dengan sudut pandang kepentingan negara secara arif dan bijaksana. Jangan sampai kemudian penegakan hukum kemudian menjadi kontra-produktif dan tidak tepat sasaran. Kita tidak ingin beban peradilan pidana dan lembaga pemasyarakatan juga semakin berat dengan hal-hal yang tidak seharusnya masuk dalam ranah pidana sebagaimana sering terjadi dalam praktek. Kita mengetahui bahwa seringkali kasus perdata misalnya juga dicampuradukkan dengan perkara pidana.
Saya sependapat dengan MK dan KPK yang menyebut bahwa segala kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara. Akan tetapi karena hal tersebut juga masuk dalam pemahaman (framework) bisnis dan korporasi, maka apabila terdapat tindakan para pemangku jabatan di BUMN yang merugikan BUMN atau dapat merugikan negara atau perekonomian negara tidak dapat begitu saja langsung masuk ke ranah pemidanaan, baik secara orang perseorangan maupun korporasi. Tindakan tersebut bukan pidana selama tidak dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan itikad buruk. Adapun pidana tersebut harus mengandung unsur perbuatan yang dimaksudkan untuk merugikan negara, tindakan tidak sah untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok, kebijakan berdasarkan suap, maupun perbuatan pidana lain terkait dapat dikategorikan sebagai obyek tindak pidana dalam hal ini juga tindak pidana korupsi.
Maka dari itu, saya melihat bahwa hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum khususnya KPK dalam mengusut kejahatan korupsi di BUMN secara profesional dan efektif. Pembuktian mengenai unsur tindak pidana korupsi atau kelalaian atau kesalahan korporasi akan menjadi hal yang selalu akan diperdebatkan oleh advokat maupun insan hukum lainnya. Untuk saat ini dibutuhkan kolaborasi KPK, Kementerian BUMN, dan seluruh pihak terkait untuk mengimplementasi komitmen anti korupsi. Kesepahaman bersama bisa menjadi salah satu alternatif solusi dari perdebatan tersebut. *