NEGARA Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang perwujudannya diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya”, sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki persamaan di depan hukum dan wajib untuk menjunjung tinggi hukum. Oleh sebab itu, segala tindakan pemimpin negara, seluruh aparatur pemerintah baik dari atas hingga ke bawah, maupun seluruh warga negara wajib mematuhi seluruh ketentuan atau kaidah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konsep negara hukum modern, pemerintah juga diwajibkan untuk tidak ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap segala pelanggaran hukum, keamanan, dan ketertiban masyarakat demi terwujudnya asas keadilan dan kesamaan di muka hukum.
Memaknai negara hukum modern berbasis prinsip “Rule of Law”, konsep negara hukum modern menurut Julius Stahl mencakup elemen-elemen penting yakni perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan tata usaha negara; yang mana kemudian disesuaikan juga dengan prinsip negara hukum (A.V Dicey) yakni hukum sebagai panglima tertinggi (supremacy of the law), persamaan di muka hukum (equality before the law), dan asas legalitas atau kesesuaian dan keadilan mekanisme hukum (due process of law). Oleh sebab itu, terdapat pembagian kekuasaan dimana negara sebagai cabang kekuasaan eksekutif harus menghormati hak-hak individu dan peraturan, peradilan sebagai cabang yudikatif menyelenggarakan peradilan yang bebas, adil, dan tidak memihak, serta cabang legislatif sebagai penyelanggara kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang merdeka, demokratis, melindungi HAM, transparan, dan menjadi mekanisme kontrol terhadap penyelenggaraan negara.
Melihat polemik belakangan ini yakni terkait Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 yang baru saja berlangsung, kini tengah bergulir wacana untuk penggunaan Hak Angket DPR terhadap dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebagian masyarakat menganggap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 lalu sarat dengan kesalahan, kesewenangan, penyalahgunaan kewenangan, dan berbagai pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Hasil Pemilu 2024 lalu bisa jadi dianggap tidak memiliki legitimasi karena pada prosesnya sarat dengan berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh sebab itu, wacana digulirkannya Hak Angket sesuai dengan perundang-undangan merupakan sesuatu yang wajar karena pada dasarnya Hak Angket ini merupakan hak DPR untuk melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran yang telah dilihat oleh masyarakat dan membutuhkan penjelasan dan/atau perbaikan.
Dalam pembahasan di ruang publik, terjadi pro dan kontra tentang penggunaan Hak Angket ini. Hal ini tentu wajar mengingat ada pihak-pihak yang diuntungkan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini atau memang merasa bahwa hal-hal yang “dituduhkan” bukan merupakan pelanggaran hukum atau tidak memiliki data yang valid. Mengenai hal ini tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut yakni tentang apa saja yang menjadi materi angket yang direncanakan akan digulirkan di DPR tersebut. Namun sebelumnya di dalam tulisan ini, penulis mengingatkan kembali bahwa penggunaan hak angket adalah hal yang berbeda dengan penyelesaian perselisihan hasil pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu, sebagaimana juga telah dijelaskan oleh berbagai Pakar Hukum khususnya Pakar Hukum Tata Negara.
Hak Angket merupakan hak konstitusional Anggota DPR sebagai representasi rakyat yang diatur dalam Konstitusi dan UU MD3 yang tentu dalam pengesahan mekanismenya membutuhkan syarat formil dan materiil angket yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Hak Angket merupakan salah satu hak “bertanya” dari DPR terhadap pemerintah, terlepas dari adanya unsur atau tujuan politis dari Anggota DPR atau Fraksi yang mewakili partai politik.
Menilik dari asal katanya, angket ini merupakan daftar pertanyaan yang dalam hal ini akan ditanyakan ke pemerintah tentang suatu kebijakan atau pelaksanaan dari undang-undang. DPR akan menguji pelaksanaan seuah kebijakan pemerintah dengan prinsip dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang, sebagai batu ujinya. Sedangkan penyelesaian perselisihan hasil Pemilu merupakan mekanisme formil hukum yang telah disediakan undang-undang untuk menguji hasil dari proses Pemilu yang telah dilaksanakan berdasarkan mekanisme yang telah diatur dalam undang-undang. Jadi dua hal ini adalah hal yang berbeda. Kita tentu harus menghormati seluruh mekanisme hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan Hak Angket
Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. DPR RI memiliki hak dalam melakukan fungsinya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, DPR RI mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas.
Secara khusus dalam Pasal 20A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 79 ayat (1) huruf b jo. Pasal 199 UU MD3 dan dan Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 182 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib mengatur tentang penggunaan Hak Angket oleh DPR RI terkait dengan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 79 ayat (3) UU MD3). Keberadaan hak angket dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan salah satu bentuk manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh DPR. Di sinilah kehadiran DPR sebagai sebagai lembaga yang mewakili dan mewujudkan kedaulatan rakyat menjadi mutlak diperlukan, terutama sebagai pembentuk undang-undang yang mengawasi bagaimana pelaksanaan undang-undang agar sesuai dengan kehendak rakyat.
Syarat Angket
Mekanisme pengusulan, pembentukan, dan pelaksanaan Angket diatur dalam Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 199-209 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Lebih lanjut ketentuan tentang tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 182-190 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Pasal 182 Tatib misalnya mengatur bahwa Hak Angket diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang Anggota dan lebih dari satu fraksi. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang memuat sedikitnya tentang materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Usul ini kemudian akan ditetapkan menjadi Hak Angket DPR jika mendapat persetujuan dari setengah anggota yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh lebih dari setengah jumlah Anggota DPR. Jika disetujui, kemudian dibentuk Panitia Angket yang harus diumumkan dalam Berita Negara. Tugas dan kewenangan Panitia Angket ini kemudian diatur pula dalam ketentuan perundang-undangan.
Menarik selanjutnya untuk dibahas mengenai materi penyelidikan Angket terhadap Penyelenggaraan Pemilu ini. Sebagaimana telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan masyarakat dari Pakar atau Akademisi, pemerhati politik, organisasi masyarakat, maupun politisi, penyelenggaraan Pemilu 2024 ini memang sarat dengan “keunikan” yang mana sangat kentara dengan konflik kepentingan (conflict of interest).
Sebagaimana beberapa angket yang pernah bergulir di DPR, seperti Angket terhadap skandal kasus Buloggate atau Bruneigate dalam pemerintahan Presiden Gus Dur, Angket terhadap Pembelian Tanker Pertamina pada 2005, Angket terhadap kenaikan Harga BBM, Angket terhadap Penyelenggaraan Haji 1429H pada 2009, Angket terhadap skandal Dana Bailout Bank Century, Angket terhadap KPK, dan tentunya Angket terhadap Penyelenggaraan Pemilu 2009. Jadi angket terhadap penyelenggaraan Pemilu ini bukan kali pertama bergulir. Pada tahun 2009 lalu, Angket terhadap penyelenggaraan Pemilu diusulkan terkait dengan Daftar Pemilih Tetap. Dari contoh-contoh tersebut, hampir kesemuanya memperlihatkan adanya indikasi kesewenangan dan konflik kepentingan atau pembentukan dan pelaksanaan kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu yang bukan untuk kepentingan masyarakat atau justru merugikan masyarakat banyak.
Permasalahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 ini, khususnya terkait degan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, diduga telah terjadi sebelum dan sesudah hari pencoblosan dan hingga kini masih menjadi diskusi yang hangat di tengah masyarakat. Publik saat itu dihebohkan dengan film “Dirty Votes” yang sesungguhnya menurut penulis tidak memberikan dampak positif maupun negatif terhadap seluruh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, namun lebih memberikan pencerahan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana masyarakat dapat menyadari dan selanjutnya mencegah terjadinya pelanggaran yang akan merugikan kepentingan bangsa dan negara. Kini, apa yang dikhawatirkan oleh film tersebut, sebenarnya terjadi sehingga banyak kalangan kemudian mempertanyakan legitimasi dari proses dan hasil Pemilu 2024 khususnya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Penulis setidaknya mencatat beberapa hal yang dapat menjadi materi penyelidikan Angket ini.
1. Mobilisasi ASN dan Kepala Desa
1.1 Pada awal Februari 2024, terdapat indikasi mobilisasi Kepala Desa oleh pasangan calon wakil presiden nomor urut dua. Pada saat itu, kasus ini diperiksa oleh Bawaslu dan KPU. Mobilisasi ini terlihat jelas karena diadakan untuk mendukung paslon tersebut.
1.2 Mobilisasi ASN juga diduga terjadi untuk menguntungkan paslon tertentu. Program-program yang diselenggarakan di Kementerian diduga dilakukan dalam rangka mendukung paslon yang didukung oleh Presiden atau Pemerintah, seperti pemberian bansos dan pembangunan infrastruktur lainnya. Oleh sebab itu misalnya, angket ditujukan untuk memeriksa pemberian bantuan sosial yang dilakukan di tahun 2023 dan 2024 yang diduga dilakukan secara masif untuk menguntungkan paslon tertentu.
2. Pelanggaran Etik dan Conflict of Interest sesuai dengan Putusan MKMK terkait dengan pencalonan Wakil Presiden.
2.1 Mungkin peristiwa inilah yang seharusnya menjadi refleksi besar seluruh pihak. Bahwa terdapat konflik kepentingan antara Ketua MK yang merupakan ipar Presiden dalam menelurkan hasil uji materi UU Pemilu terkait umur seorang calon Wakil Presiden sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Permasalahan ini kemudian dibawa ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan terjadinya pelanggaran etik oleh Ketua MK. Hal ini memperlihatkan ketiadaan etika bernegara dan konflik kepentingan yang kemudian menghasilkan perbuatan “nepotisme” untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini, Presiden sebagai eksekutif telah dicurigai oleh banyak pihak mengintervensi lembaga yudikatif (MK).
2.2 Selanjutnya, belum ada ketentuan terkait dengan aturan untuk ketidakikusertaan para Hakim yang dinilai memiliki benturan kepentingan.
3. Netralitas Presiden, pejabat negara, Aparat, dan ASN lainnya.
3.1 Netralitas Presiden awalnya tidak diragukan setelah menyatakan akan mendukung semua paslon dan menjaga netralitasnya dengan membuat aturan agar seluruh aparatur negara menjaga netralitasnya selama Pemilu. Namun belakangan Presiden justru memperlihatkan sikap berbeda dengan memperbolehkan seluruh pejabat untuk ikut kampanye dan mendukung paslon Capres/Cawapres selama tidak menggunakan fasilitas negara. Pernyataan ni tentu menjadi sebuah dilema dan menimbulkan pro dan kontra, dimana seorang pejabat tentu sangat terkait dengan segala atribut dan fasilitas negara yang dimilikinya.
3.2 Netralitas oknum aparat juga menjadi sorotan. Sebuah contoh kasus di Sumatera Utara memperlihatkan permasalahan yakni pada saat sebelum masa kampanye dimana ditengarai ada oknum tertentu yang memasang baliho, namun memaksa mencabut baliho calon lainnya. Hal ini sempat menjadi perdebatan namun kemudian menguap begitu saja.
4. Penyelenggaraan penghitungan suara melalui sistem aplikasi teknologi rekapitulasi penghitungan suara KPU (Sirekap)
4.1 Terakhir sebagaimana menjadi temuan berbagai pihak, bahwa sistem informasi Sirekap yang diselenggarakan oleh KPU tidak memiliki keakuratan atau sangat banyak memiliki kesalahan (error). Petugas KPPS sendiri bahkan menyatakan sulit mengakses dan menggunakan Sirekap. Bahkan gangguan teknis terjadi selama 1×24 jam yang menimbulkan pertanyaan publik tentang kapasitas dan kredibilitas Sirekap tentang Data. Publik kemudian mendorong dilakukannya audit eksternal karena menduga telah terjadi penggelembungan suara seperti yang ditemukan oleh Perludem.
5. Netralitas KPU dan Bawaslu
5.1 Putusan DKPP yang terkait dengan diperbolehkannya pendaftaran seorang calon wakil presiden yang tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PKPU, mempertanyakan profesionalisme KPU. Alhasil, keputusan DKPP memperlihatkan bahwa Ketua dan Anggota KPU diduga melanggar etik dan lalai dalam melihat ketentuan perundang-undangan.
5.2 Sedangkan terkait dengan pelaksanaan kewenangan Bawaslu, banyak sekali laporan yang seharusnya ditindaklanjuti oleh Bawaslu, terutama yang mengandung tentang tindak pidana di bidang Pemilu (Sentra Gakumdu). Namun Bawaslu diduga juga telah diintervensi sehingga Bawaslu seperti tidak bergeming dalam menindaklanjuti laporan tersebut secara serius dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tercatat oleh pakar, terdapat 2000an laporan kasus yang belum ditindaklanjuti sesuai ketentuan.
Angket vs Pemakzulan
Angket ini bertujuan untuk memindahkan pula perdebatan atau diskusi di ruang-ruang yang ada di dalam masyarakat ke ruang formal-publik. Dalam hal ini angket juga menjadi forum bagi Presiden atau aparatur Pemerintah lainnya untuk menjawab keraguan dan segala dugaan terkait dengan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan. Angket sebenarnya merupakan implementasi dari proses check and balances yang dimiliki oleh DPR untuk mengoreksi pelaksanaan kewenangan oleh Pemerintah yang diduga telah melanggar undang-undang yang notabene adalah kesepakatan rakyat dan Pemerintah.
Angket merupakan instrumen bagi para wakil rakyat untuk menghadapi kekuasaan dari seorang Kepala Negara (Presiden) atau pejabat Pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan secara absolut untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Memang agaknya pendapat Lord Acton selalu relevan yakni: power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Hal inilah yang kemudian menjadikan orang tertentu ingin selalu melanggengkan kekuasaannya. Kita tidak boleh lupa bahwa di zaman orde baru, hal ini telah merusak sendi-sendi bangsa Indonesia.
Hak Konstitusional DPR yang diatur dalam Konstitusi yakni Interpelasi, Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat memang berujung pada rekomendasi yang harus dilaksanakan termasuk dimungkinkannya pemakzulan terhadap Kepala Negara yang dianggap telah melanggar Undang-Undang. Bukan tidak mungkin hal ini terjadi, mengingat hal-hal yang belakangan terjadi dan diungkap oleh publik, termasuk oleh media. Banyak pihak media asing juga ikut berkomentar betapa parahnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu 2024 ini dianggap sebagai pemilu yang paling tidak berintegritas.
Pemilu, baik Pilpres maupun Pileg, bukanlah hal yang biasa saja, artinya ini sangat penting dan berdampak luas pada kelangsungan hidup masyarakat, bangsa, dan negara, terutama dalam hal Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Masa depan bangsa dan negara ini sangat bergantung pada hasil Pemilu, penyelenggaran Pemerintahan, dan terutama integritas para aparaturnya. Oleh sebab itu, evaluasi terhadap penyelenggaraannya oleh pemerintah, termasuk dalam hal ini Presiden, patut untuk mendapatkan banyak perhatian. Setidaknya, keterbukaan dan transparansi untuk mengadakan pemilihan umum yang profesional dan berintegritas ke depannya perlu untuk dijamin. Pelaksanaan kebijakan yang telah ada untuk menyelenggarakan Pemilu yang jujur, adil, langsung, bebas, dan rahasia perlu dilakukan tanpa intervensi kekuasaan dan menghasilkan para pemimpin yang dipilih oleh masyarakat.
Semoga pikiran yang baik, datang dari segala penjuru. *