Pemilihan pimpinan di perguruan tinggi swasta (PTS) kini sepertinya tak jauh beda dengan pertarungan politik. Ada pembentukan tim sukses, mobilisasi dukungan, menawarkan jabatan strategis hingga aroma politik uang. Pemilihan pimpinan PTS kini makin jauh dari prinsip demokrasi dan berkeadilan yang menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan.
Kita memahami, pemilihan pimpinan PTS merupakan bagian penting dalam sebuah perguruan tinggi, di mana memang harus ada pergantian masa kepemimpinan. Ini artinya, proses pemilihan pimpinan PTS bukanlah pertarungan politik, tetapi merupakan kegiatan akademisi, yakni sebuah proses untuk menentukan siapa calon pemimpin yang terbaik dan mendapatkan legitimasi di internal kampus.
Sayangnya, dalam praktik pemilihan pimpinan PTS seringkali sangat politis. Dampaknya, kampus kini menjadi ajang politik praktis yang pada titik tertentu sangat memprihatinkan dan kaum akademis seperti tercerabut dari akar idealismenya sebagai benteng moralitas. Ketika hal ini terjadi, suasana kampus menjadi tidak asyik, hubungan di antara sivitas akademika diwarnai penuh curiga dan intrik. Padahal, perguruan tinggi seharusnya menjadi teladan moralitas dan integritas.
Adanya praktik kotor dalam pemilihan pimpinan PTS, membuktikan kampus kini mulai dirasuki budaya politik praktis. Bahkan, dalam pemilihan pimpinan PTS ada tim sukses (timses) hingga lobi politik seperti mencari rekomendasi dari tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh, dengan harapan bisa mempengaruhi keputusan senat. Kalau dulu, hal itu haram untuk dilakukan bahkan disebut sebagai tindakan yang memalukan, namun kini sudah dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa. Apakah itu bisa mempengaruhi keputusan senat? Tentu saja terbitnya rekomendasi itu karena ada permintaan dari mereka yang akan bertarung, namun keputusan akhir tetap pada senat seperti yang sudah diatur dalam statuta.
Sejatinya, pimpinan PTS itu adalah tugas tambahan, sementara tugas utamanya adalah sebagai dosen. Dengan demikian, di mana-mana tugas tambahan itu tentu jauh lebih tidak penting dari tugas pokoknya sebagai dosen. Jika saja mereka sadar dengan tugas pokoknya sebagai dosen, tentu saja mereka tidak akan ambisius untuk mengejar jabatan tersebut. Jika ada yang sampai ambisius dan bahkan menghalalkan berbagai cara, ini tentu menjadi pertanyaan besar. Ada apa?
Pemilihan pimpinan PTS yang merupakan program suksesi yang dilakukan periodik empat tahun sekali, jangan dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang nuansa politiknya tentu jauh lebih besar.
Perlu dicatat, pemilihan pimpinan PTS yang tidak demokratis dan adanya campur tangan pihak lain seperti badan penyelenggara misalnya, akan menyebabkan kampus tidak memiliki kemandirian dan tidak punya independensi. Jadi berikan kedaulatan kepada senat perguruan tinggi dan sivitas akademika untuk memilih pemimpinnya sendiri. Praktik kecurangan dalam pemilihan pimpinan PTS, di samping melanggar Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, risikonya juga harus dibayar mahal, yakni mereka yang terpilih bukan representasi kampus. *
*Penulis adalah wartawan dan tinggal di Denpasar.